Oleh : Suarez Yanto Yunus, SH, MH
Praktisi Hukum Perburuan
NEIL GILBER dalam tulisannya berjudul Transformation of the welfare srate: The Silent Surrender of public responsibility memberikan gagasan perlindungan pekerja/buruh merupakan faktor utama dalam Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Pendekatan tersebut tentu bermula dari meningkatnya dampak buruk perkembangan doktrin Laissez Faire di Eropa pada abad pertenganhan. Doktrin tersebut mengusung filosofi liberalisme ekonomi, khususnya di sektor industri.
Dalam perkembangannya, doktrin laissez faire individu bergeser menjadi laisserz faire kolektif yang mencapai bentuk teoritis maupun praktis secara sempurna di Inggris. Akibat dari praktik doktrin tersebut terjadi berbagai perlakuan pemerasan (eksploitasi) pekerja/buruh oleh penguasa, kondisi tersebut diperburuk dengan ditemukannya mesin uap yang membawa serta proses mekanisasi industri pada masa revolusi industri sekitar tahun 1750-1850.
Instrumen hukum atas perlindungan pekerja/buruh melalui penyusunan dan penerbitan undang-undang pertama dalam bidang Kesehatan kerja (arbeidsbeschermingswetten) bermula di Inggris pada tahun 1802 melalui The Healt and Morals of Apprentices Act yang ditujukan bagi para pekerja/buruh anak magang yang dipekerjakan di pabrik dengan jam kerja berkepanjangan. Selanjutnya berkembang di Jerman dan Prancis sekitar tahun 1840 serta di Belanda setelah tahun 1970.
Perlindungan yang ditur adalah perlindungan terhadap Kesehatan kerja (gezondheid/health) dan keselamatan kerja (veiligheid/safety) dalam menjalankan pekerjaan kedua hal tersebut dikembangkan sebagai suatu bidang tersendiri dalam hukum perburuhan, yang menonjolkan intervensi negara dalam bentuk hukum (peraturan perundang-undangan). Penerapan Kesehatan dan keselamatan kerja, menurut H.L. Bakels dalam Schets van het Nederlands Arbeitsrecht, memberi penegasan bahwa perlindungan pekerja/buruh merupakan norma-norma hukum public yang bertujuan untuk mengatur keadaan perburuhan di Perusahaan.
Begitu pun dengan pendapat M.G. Rood, secara tegas menyebutkan bahwa Undang-Undang mengenai perlindungan pekerja/buruh merupakan contoh hukum sosial yang ciri utamanya secara umum di dasarkan pada teori ketidakseimbangan konpensasi. Teori tersebut bertitik tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dengan penerima kerja secara sosial ekonomi tidak sama kedudukannya.
Akhir-akhir ini sering terjadi kecelakaan kerja di sektor industri. Bahkan beberapa waktu lalu terdengar berita di hairan online tandaseru, kamis 26 Agustus 2021, terdapat kecelakaan kerja di Perusahaan pertambangan PT. IWIP yang beroperasi di Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara sehingga mengakibatkan seorang pekerja/buruh meninggal dunia.
Kondisi tersebut tentu merupakan bentuk kegagalan dan lemahnya manageman penerapan standarisasi norma Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di PT. IWIP.
Buruknya jaminan Kesehatan dan keselamatan kerja membuat perusahaan PT. IWIP dicatat dalam sejarah pertambangan Maluku Utara sebagai perusahaan berbahaya yang tidak layak beroperasi karena tidak memiliki sistem pengelolaan jaminan Kesehatan dan keselamatan kerja yang baik.
Sehingga acap kali, terdengar berita kematian pekerja/buruh di PT. IWIP akibat kecelakaan kerja, baik yang melibatkan pekerja/buruh Indonesia maupun pekerja/buruh asing. Jaminan atas perlindungan Kesehatan & keselamatan kerja merupakan prinsip yang tidak bisa diabaikan.
Perlindungan tersebut oleh Soepomo dibagi dalam tiga kelompok, pertama perlindungan ekonomi, berupa upaya untuk memberikan penghasilan yang cukup bagi pekerja/buruh, kedua perlindungan sosial, berupa usaha-usaha yang bersifat kemasyarakatan bagi pekerja/buruh, keluarga dan masyarakat, dan ketiga adalah perlindungan teknis, yang mengusahakan agar pekerja/buruh dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat produksi perusahaan. Bahkan terdapat beberapa teori yang secara tegas menempatkan prinsip perlindungan Kesehatan dan keselamatan kerja sebagai prinsip utama dalam hubungan kerja, yaitu teori Risk Profesionalle, Employer, Reasonable Care, maupun derivasi analog dari Vicarious Liability Doktrin. Begitupun dengan teori Vicarius Liability Atau respondeat Superior yang menempatkan perbuatan pekerja/buruh sebagai perbuatan majikan (the servan’s act is the master’s act in law).
Pada pokoknya teori tersebut adalah menempatkan kewajiban pengusaha selaku pemberi kerja untuk bertanggung jawab dalam konteks profesionalitasnnya sebagai pengusaha atas Kesehatan dan keselamatan pekerja/buruh di Perusahaan. Pengusaha harus melakukan upaya-upaya preventif untuk melindungi pekerja/buruh dari ancaman kecelakaan kerja.
Kondisi ini yang tidak terlihat oleh perusahaan PT. IWIP. Praktik kotor Perusahaan pertambangan asal negeri Tirai Bambu di Wilayah Halmahera Tengah Maluku Utara yang mengakibatkan Intensitas Kecalakaan kerja sering terjadi, merupakan konfigurasi kegagalan sistem manageman penanganan Kesehatan dan keselamatan kerja. Bisa jadi, kematian pekerja/buruh di PT. IWIP akan kembali terulang, manakala sistem Kesehatan dan keselamatan kerja tidak diperbaiki.
Kendati demikian, diharapkan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian Polres Halmahera Tengah) untuk serius melakukan penyelidikan/penyidikan dugaan kesengajaan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja hingga membuat seorang pekerja meninggal dunia.
Sebab ketentuan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja yang merupakan fundamental norm juga merupakan Prinsip utama dalam standar International Labour Organsation sebagai safety and Health Manageman System yang tentu merupakan standar Internasional yang diterbitkan oleh PBB mengenai penerapan sistem Managemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Perusahaan yang tidak bisa dikesampingkan. Sebab, K3 merupakan norma hukum yang meletakkan kewajiban (verplichtende) kepada Perusahaan untuk menerapkan sistem keselamatan & kesehatan kerja.
Dengan begitu, diharapkan dapat meminimalisir tingkat kematian pekerja/buruh akibat kecelakaan kerja di PT. IWIP. (*)