JAKARTA, JN – Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H, dihadirkan sebagai Ahli dalam persidangan Perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas PUPR dan Pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, Tahun 2019.
Sidang di gelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kelas 1a Khusus Palembang, Rabu (13/4/2022).
“Benar saya telah memberikan keterangan sebagai Ahli secara resmi didepan persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kelas 1a Khusus Palembang, dan majelis hakim telah memeriksa serta menggali keterangan yang telah saya sampaikan dibawah sumpah pada persidangan yang terbuka untuk umum,” ujar Fahri Bachmid kepada wartawan, Kamis (14/4//2022).
Fahri Bachmid mengaku dirinya menjadi Ahli karena diminta dan diajukan oleh 10 orang Mantan Anggota DPRD Muara Enim periode 2014-2019 dan Periode 2019-2024 yang saat ini menjadi terdakwa dalam perkara dengan Register No. 4/Pid.Sus-TPK/2022/PN Plg tanggal 07 Januari 2022,
Secara formal Kuasa hukum para terdakwa, yang terdiri dari Irfan Maulana Muharam, S.H., Dr. H. Darmadi Djufri, S.H., M.H., C.Med, M. HUSNI CHANDRA, SH., M.HUM, Feni Sasriana, S.H, Agus Mirantawan, SH; dan Nurlailatul Qodar Gathmir, dan secara bersamaan mengajukan Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. sebagai Ahli dalam perkara para terdakwa tersebut,
Sementara itu, pihak Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hadir pada persidangan adalah Agung Satrio Wibowo, Muh Asri Irwan dkk.
Dan Majelis Hakim dipimpin oleh Efrata Happy Tarigan,SH.,MH. Sebagai Ketua Majelis; Mangapul Manalu,SH.,MH. Sebagai Hakim Anggota; dan Ardian Angga,SH.,MH. Sebagai Hakim Anggota.
Saat menyampaikan pokok-pokok keterangannya di hadapan majelis hakim, Fahri Bachmid, menjelaskan, berdasarkan desain hukum dalam konsep pemerintahan daerah, DPRD bukan merupakan organ penyelenggara negara sebagaimana dirumuskan dalam norma pasal 11 dan pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana rumusanya adalah “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” secara yuridis sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, khususnya ketentuan Pasal 2 mengatur Penyelenggara Negara meliputi:
a. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c. Menteri; d. Gubernur; e. Hakim; f. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan; g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Hal yang demikian telah ditegaskan dan diatur lebih lanjut dalam ketentuan pasal 122 UU No 5/2014 Tentang ASN. Sehingga dengan demikian DPRD secara teknis hukum tidak dapat digolongkan sebagai Penyelenggara Negara, tetapi
merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota sesuai ketentuan norma pasal 148 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” papar Fahri.
Untuk diketahui, kasus yang menjerat 10 mantan anggota DPRD Muara Enim merupakan pengembangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Terpidana mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR dan pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim Tahun 2019, yang bermula dari OTT KPK terhadap Bupati Muara Enim Ahmad Yani, bersama Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupetan Muara Enim, Elfin MZ Muchtar, serta kontraktor bernama Robi Okta Fahlevi.
KPK menduga Yani dan Elfin menerima total Rp 12,5 miliar dari 16 paket proyek di Muara Enim dari Robi.(bib)