oleh : Safri Kamaria
Graha IKA-PMII 31 Januari 2022
Adalah tema yang diusung pada dialog dalam rangka Hari Lahir NU ke 96 yang diprakarsai Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII).
Bagi saya, tema ini menarik untuk didiskusikan, meskipun oleh Sebagian kalangan menyebutkan bahwa antara NU structural dan NU kultural agar tidak dihadap-hadapkan, akan tetapi catatan sejarah menunjukkan bahwa NU kultural itu ada sejak ratusan tahun silam, sejak belum ada opsi Gerakan melahirkan NU Struktural.
Hingga Gerakan melahirkan NU structuralpun NU Secara kultural tidak bisa hilang begitu saja, dan dalam konteks tertentu sering kali berhadap-hadapan, misalnya Pilpres 2019, Pilkada DKI Jakarta, Pilkada Jawa Timur dan mungkin masih banyak lagi. Dalam konteks ini harus diakui bahwa eksistensi NU structural dan NU Kultural turut mempengaruhi proses pelaksanaan pesta-pesta demokrasi tersebut.
Bahkan sangat mudah diidentifikasi siapa tokoh NU structural, siapa tokoh Kultural yang ambil bagian dalam pertarungana politik di beberapa wilayah yang saya sebutkan di atas termasuk yang paling besar adalah pemilihan presiden tahun 2019 yang menampilkan Jokowi – Maruf vs Prabowo – Sandi.
Secara organisasional, NU merupakan satu jam’iyah ijtimaiyah yang utuh. Walau demikian, menjelang Pilpres 2019 muncul dua kelompok saya sebut kelompok NU struktural (dimotori PBNU) yang memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf dan kelompok NU kultural (dinakhodai KH Irfan Yusuf dkk) yang memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Demikian juga dengan pilkada Jakarta, dan pilkada jawa timur.
Dalam konteks pembungunan keummatan NU, “basis” NU (kultural) juga disinyalir terabaikan (kurang terurus) dan sering kali kelemahan ini dialamatkan kepada kelompok yang disebut sebagai NU Struktural, kondisi ini juga saya kira tidak keliru, oleh karena NU structural tentu memiliki kepentingan secara structural yang bisa jadi tidak menarik bahkan bisa berbeda dengan kepentingan NU kultural.
penguatan eksistensi basis kultural NU misalnya, NU secara structural sepertinya belum optimal dalam merawat basis dimaksud, karena itu pula sering kali kita sulit membedakan mana basis NU kultural dan benar-benar merupakan milik NU secara organisasional, dan mana basis yang bukan milik NU, karena mengklaim basis dengan pendekatan kultural juga ternyata lemah. Artinya butuh indicator yang kuat sebagaimana indicator NU secara structural.
Tema NU Strukturla vs NU Kultural tidak bermaksud mengeksplorasi catatan sejarah atau fakta-fakta perbedaan kepentingan keduanya untuk mempertajam dikotomi kedua kelompok ini dalam Gerakan pembangunan agama dan bangsa, tetapi dalam rangka menemukan gagasan-gagasan terbaik untuk kepentingan membangun sinergi dan atau kolaborasi keduanya sehingga menjadi suatu kekuatan yang dahsyat.
Tidak hanya dalam kepentingan politik dan kekuasaan, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah kepentingan kemaslahatan umat.
Diskusi yang diprakarsai IKA PMII Maluku Utara ini menghadirkan narasumber :
Mohtar Adam (Ketua ISNU Maluku Utara), Fahrul (Pengurus NU), Hasibi Yusup (KAHMI Maluku Utara), dan Salim Taib (Wasekjen PP Ansor).
Resume diskusi kurang lebih sebagai berikut :
Mohtar Adam; perdebatan NU harus jauh dari dikotomi antara kelompok Struktkural dan Kelompok kultural, NU secara struktual telah memberi dampak besar terhadap eksistensi NU kultural, yang penting bagi NU saat ini dan kedepan adalah memperkuat pembangunan ekonomi keumatan, karena basis kulktural NU yang begitu besar ternyata belum terkelola dengan baik, terutama dalam hal pembangunan ekonomi umat. NU secara structural harus hadir dalam upaya memperkuat ekonomi umat di level bawah, ini yang perlu dilakukan ke depan.
Hasbi Yusup; menyampaikan pentingnya kolaborasi antar elemen-elemen islam dalam membangun negara, NU sebagai organisasi Islam tertua bagi hasbi perlu memposisikan diri sebagai paying bagi organisasi islam lainnya untuk kepentingan pembangunan kemaslhatan umat di negara ini.
Menyoal dikotomi NU structural dan NU Kultural, Hasbi menyebut dikotomi keduanya hanya akan melemahkan NU itu sendiri baik secara structural maupun secara kultural, opsi Gerakan melahirkan NU secara structural adalah pilihan tepat NU dalam mengawal pembangunan sekaligus ikut memperkuat basis NU secara kultural.
Lahirnya UU zakat, Haji, Bank syariah, Produk Halal dan UU Pondok Pesantren adalah hasil dari perjuangan politik ditingkat struktural kekuasaan, dan tentu NU ikut ambil bagian dalam keputusan-keputusan negara tersebut. dan tentu memberi dampat positif bagi pembangunan umat.
Fahrul ; memaparkan sejarah munculnya dikotomi NU structural dan NU Kultural, menurutnya NU Struktural lahir sebagai upaya mengawal kepentingan NU dalam struktur kekuasaan, antara NU structural dan NU kultural kedaunya memiliki argument sendiri dalam menjaga kiprahnya, sebagaimana kita ketahui bahwa NU kultural identic dengan praktik-praktik keagamaan yang terpusat di pondok pondok pesantren, sdangkan NU structural lebih pada upaya memperjuangkan kepentingan umat dalam struktur kekuasaan. Keduanya tidak boleh dipertentangkan melainkan harus bergerak Bersama untuk kemaslahatan.
Salim Taib; menyoal pentingnya warga pergerakan memahami prinsip-prinsip yang dibangun dalam perjuangan NU, artinya perjunagan NU tidak bisa dilepaksan dari prinsip-prinsip tersebut.
Setidaknya ada tiga prinsip yang masih sangat relevan untuk dilaksanakan kata Salim Taib, Tiga prisnsip tersebut adalah nasionalisme, intelektualitas dan kemapanan ekonomi.
Selain itu, salim juga menyinggung soal pentingnya kontribusi warga NU terhadap organisasi, secara moril maupun materi, warga NU harus memberi kontribusi, kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dan saling membiarkan, wadah ini harus terus hidup dan berkembang lebih baik lagi kedepan, karena itu semua “tokoh” NU penting diajak untuk memberi kontribusi untuk keberlangsungan organisasi. (*)