Oleh :Yusril Buang
Ketua Umum HMI Kom (P) K. H. Ahmad Dahlan Fakultas Hukum UMMU Ternate
Eksistensi sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Makin baik kualitas SDM, makin siap pula menyongsong berbagai perubahan.
“Agus Salim Sitompul”
Perkembangan Ilmu pengetahuan dari abad klasik hingga sekarang mendapati Masa jayanya karena ditopang oleh Segelintir manusia yang terintegrasi dalam suatu wadah Ilmiah. Ilmu pengetahuan diyunani bisa dibilang sebagai kampiung/arus utama ilmu pengetahuan ini mengalir. Kita akan menjumpai beragam filsuf ketika mendeteksi arus ilmu pengetahuan yang mengalir dinamis mengikuti arah sungai, diantaranya Socrates, Palto dan Aristoteles. Ketiga Filsuf ini merupakan kumpulan filsuf yang lahir dalam satu episentrum sekolah yang didirkan saat itu, Misalnya Plato Mendirikan sekolah “Akademi” dan “The Lyceum yang didirikan Oleh Aristoteles. Sekola-sekola inilah yang mengkader filsuf-filsuf seterusnya yang lahir setelah mereka.
Berkat jasa para filsuf di atas, Filsuf abad pertengahan berhasil mendengungkan kemenangan ilmu Pengetahun ditengah Kungkungan Gereja. Dimana saat itu gereja dengan otoritasnya mensabotase kebebasan Filsuf-Ilmuan untuk menyatakan pendapatnya sebagai hasil dari cara kerja Akal. Satu hal yang harus dicatat, bahwa sebelum pemikiran-pemikiran Filsuf yunani dianataranya Plato dan Aristoteles mendarat ke Eropa, Buah pemikiran ini lebih dulu mengalir ditubuh filsuf Muslim saat itu. Ibnu Rusyd adalah salah seorang filsuf muslim yang menerjemahkan pemikiran Plato kedalam bahasa arab. Hasil dari terjemahan Ibnu Rusyd ini membuat Filsafat tumbuh subur dan mekar dikalangan Muslim. Berkat jasa Ibnu Rusyd inilah Eropa bisa keluar dari tidur panjangnya yang gelap gulita.
Nicholas Copernicus sebagai salah seorang Filsuf Ilmuan yang menemukan teori Heliosentris Yakni” Matahari Merupakan Pusat dari Tata surya”. Temuan teori inilah yang kemudian bermetamorfosis dalam bentuk gerakan Ilmu pengetahuan untuk menumbangkan klaim gereja yang mengatakan Bumi sebagai Pusat dari tata surya (Geosentris). Gerakan itu diwujudnyatakan Oleh Galileo Galilei dengan temuannya lewat Teropong yang ia Ciptakan. Gerakan Galileo ini dicap oleh gereja sebagai gerakan yang melawan dogma suci gereja yang tertuang dalam kitab suci, akibatnya galileo dihukum dengan pengucilan sampai meninggal. Deretan Filsuf abad pertengahan ini juga lahir dalam sekolah/Universitas ternama yang tujuanya adalah bagaimana memperlancar Mata Air Ilmu Pengetahuan yang mengalami kemandetan.
Peran Segelintir Manusia dan Wadah Ilmiah sangat menentukan percaturan peradaban manusia saat ini. Hal ini bisa ditilik lewat sejarah manusia yang berbarengan dengan temuan-temuan baru oleh para Filsuf-Ilmuan dari abad klasik, Moderen, Post-Moderen hingga Era Digital saat ini.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi perkaderan yang lahir ditengah kungkungan perkelahian ideologi saat itu mendapatkan posisi yang strategis. Ditengah pergulatan ideologi saat itu, HMI lahir dengan pemahaman Integratifnya tentang Keislaman, Keindonesiaan dan Kemahasiswaan. Tentu bukan hal yang instan, dikotomi antara Keislaman dan Keindonesiaan saat itu memicu konflik panjang yang tidak berkesudahan. Hal ini bisa dibuktikan dengan bagaimana kebijakan Diksriminasi Organisasi Jong java yang hanya memberikan Kursus Khusus pada kader Kristen saat itu, sementara kader islam tidak mendapatkan Kursus apa-apa. Juga situasi kampus saat itu telah mewadahi paham sekuler yang menciptakan segregasi antara agama dan negara, akhirnya berefek pada paradigma Mahasiswa islam yang cenderung kebarat-baratan dan tidak lagi menjadikan Islam sebagai Pedoman dan Aspirasi kehidupan.
Barangkali ini adalah tesis yang mewujudkan antitesis integratif HMI yang terfolmal dalam wawasan Keislaman, Keindonesiaan dan Kemahasiswaan Organisasi ini.
HMI juga pernah mendapati masa kejayaanya dalam sisi Intelektual. Masa ini ditandai dengan kader jebolan HmI yang muncul dipermukaan dengan wacana Ilmu Pengetahuan. Jebolan kader itu Kakanda Nurcholis Madjid yang muncul dengan gagasan Pluralisme dan sekularisasinya sebagai keniscayaan dari tiga wawasan HMI. Sodoran gagasan yang didengungkan oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) ini menjadi wacana hangat yang dianggap kontroversial. Tapi walaupun begitu, pemikiran Cak Nur ini menjadi Embrio dari wawasan yang menganggap Islam dan Indonesia adalah satu tarikan Nafas.
Dimasa kakanda Cak Nur yang memimpin HMI pada tahun (1966-1969, 1969-1971) HMI mendapati karakternya sebagai Organisasi Mahasiswa yang berorientasi keilmuan, HMI menjadi sumber dan lirikan dari berbagai pihak karena kontribusinya dari sisi ilmu pengetahuan terhadap agama dan kemajuan negara. Bagaimana tidak, tujuan ideal negara yang terformalkan dalam Preambule UUD itu yang berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan bangsa” itu terlaksana secara masif di HMI lewat perekaderan, Pun turut mendamaikan konflik bangsa lewat gagasan yang dicanangkan oleh kader jebolan HMI, dari Kontribusi inilah dimasa kakanda Cak Nur HMI disebut sebagai fase “Intelektualisme”.
Fakta sejarah hari ini menunjukan bahwa HMI telah melewati beberapa Fase, Diantaranya Fase Heroisme (Kepahlawanan), dan fase Intelektualisme (Keilmuan).
Grand Narasi Heroisme (Kepahlawanan) ini ada dimasa ketika HMI baru didirikan, Kepahlawanan HMI terformalkan pada sosok kakanda Lafran Pane yang selain sebagai Pendiri HMI, ia juga sebagai Ketum PB HMI Pertama pada 1947. Pada fase ini ditandai dengan gerakan melawan Kolonialisme belanda yang berusaha merebut kembali kemerdekaan bangsa dan juga gerakan komunis yang dianggap mengganggu kemananan negara (Kontra Revolusi). Pada masa itu para pendiri HMI melepaskan pena dan memilih mengangkat senjata untuk melawan kolonialisme belanda dan Komunis. Fase ini adalah fase Keheroikan (Heroisme) HMI.
HMI YANG SEKARANG
Wacana tentang Kematian HMI belakangan ini menjadi sirkulasi hangat dikalangan kader HMI dan Alumni HMI. Tulisan kakanda M Qasim Mathar dalam koran Jendela Langit pada agustus 2021 kemarin telah memantiq publik HMI untuk kembali melirik dan mengevaluasi Organisasinya. Pemikiran bang Qasim yang bertajuk HMI sudah tiada dengan deretan penjelasan bahwa HMI telah tiada ketika HMI pecah Menjadi dua (Dipo & MPO) juga menghimbau keseluruh bangsa indonesia untuk tidak lagi menganggap Keberadaan HMI, karena HMI yang ada sekarang ini hanya memperpajang konflik ditambah kader HmI yang hanya duduk termangu di warkop. Tidak bisa dipungkiri, bahwa Tulisan Kakanda M Qasim Mathar ini merupakan hasil dari cermatan dia tentang dinamika dan orientasi HMI sekarang ini. Kita tidak bisa menolak secara full dan menerima secara total pemikiran Kakanda M Qasim Mathar di atas, karena selain tulisan itu adalah hasil cermatan dia sebagai Insan HMI, HMI juga mewadahi kebebasan berfikir bebas kepada siapa saja khususnya kader dan alumni HMI. Barangkali penulis sepaham dengan kakanda M Qasim mathar yang mengatakan HMI sudah Tiada! Tapi penulis punya dalil lain yang itu adalah merupakan kondisi Objektif HMI saat ini.
Kader HMI selain hanya asyik-asyik di warkop dengan wejangan-wejangan elit diatas tumpukan meja, kader HMI juga telah menjadi manusia super yang memiliki dua kepribadian. Dua kepribadian yang penulis maksud adalah kader HMI selain menyandang status formal sebagai kader HMI, ia juga menyandang status sebagai pesuruh/titipan/anak/antek Oligarki.
Fenomena ini memang sulit untuk dibuktikan, siapa dan apa kriterium absah untuk menempelkan status itu kepada kader HMI yang ducurigai. Momen KONGRES, KONFERCAB, MUSDA bahkan RAK tingkat Komisariat itu menjadi gambaran sederhana bagaimana proses pendelegasian dan olahnisasi kepentingan itu bekerja.
Efek dari fenomena ini, melahirkan satu tradisi agung yang telah berhasil mendarah daging dalam tubuh kader HMI. Aktivitas Politik (Politik Struktural) seakan menjadi hal yang biasa saja dalam lalulintas Organisasi, bahkan kader yang menggumuli ilmu Politik-Struktural dan mempraktekkanya dalam Hirup organisasi dianggap sebagai kader Paripurna yang luar biasa hebatnya. Ukuranya karena link dan jejaring yang didapatkan lewat aktivitas Politik-struktural pada Alumni-alumni besar, pejabat, tokoh partai politik itu telah ia laksanakan dengan begitu massif.
Aktivitas Politik ini bagi penulis sangat berbahaya bahkan berpotensi melancarkan mata air kematian HMI. Karena dalam waktu yang bersamaan, ketika aktivitas Politik-struktural mendominasi proses kerja organisasi, maka aktivitas Intelektual-Kultrural termarjinalkan dalam tubuh Organisasi. Bukti dari Politik-Struktural mendominasi Aktivitas Intelektual Kultural, adalah banyaknya kader HMI yang memilih membentuk komunitas belajar di luar HMI untuk melanjutkan Proses belajarnya, juga segelintir kader HMI yang memilih tidak aktif karena dilematis dengan kondisi HMI saat ini, atau dengan kata lain kelompok minoritas yang menghidupkan Kultur keilmuan ini tersisihkan tanpa belas kasih dari HMI.
HMI kehilangan karakteristiknya sebagai kampiung Intelektual di Indonesia, HMI juga kehilangan orientasi untuk menggolkan mission Sacrenya, HMI saat ini tidak lain sebagai Wadah yang dimanfaatkan oleh kelompok Oligarki.
SETITIK MATA AIR
Bila anda menyadari telah menyimpang,maka kembalilah ke pangkalan jalan (Khittah)
“Kakanda Amidhan”
Bagaimanapun juga, beragam masalah HMI saat ini tidak mesti membuat kita Pesimis dan putus asa. Bahwa masih terdapat banyak fariabel yang tersedia untuk mengembalikan ulang kedigdayaan HMI. HMI telah membuktikan dirinya untuk tetap hidup ditengah gencatan senjata kolonial dan lalulintas politik indonesia yang hampir membubarkan dirinya. Seruan untuk membubarkan HMI dari berbagai kalangan menjadi tantangan besar bagi HMI, tapi semua itu bagai angin sepoi yang pergi begitu saja. Karena HMI dengan komitmen dan keeksisanya telah membuktikan kepada dunia bahwa ia menang dalam percaturan Politik Indonesia saat itu.
Ketika melewati fase itu, HMI pun menuju fase kedigdayaan Intelektual. Bahwa berbagai persaingan organisasi saat itu yang masing-masing mengandalkan kader-kader terbaiknya, HMI muncul di permukaan dengan mendengungkan narasi-narasi kritis nan solutif tentang problem bangsa saat itu, berhasil memusatkan HMI sebagai Organisasi yang menghidupkan kultur keilmuan dan berhasil mempengaruhi organisasi lain untuk belajar di HMI.
Deretan kisah tentang kedigdayaan HMI di atas, kalau dipahami hanya sebagai fakta sejarah yang hanya difungsikan untuk menjadi bahan Onani Wacana dan penggunjingan Publik saja, maka penulis memberanikan diri untuk mengatakan dan menyepakati apa yang disampaikan Oleh Kakanda Qasim mathar bahwa “HMI SUDAH TIADA”
Tetapi kisah heroik dan kejayaan Intelektual ini kalau disemangati sebagai motivasi dan ruh perjuangan untuk merekonstruksi dan meluruskan arah perjuangan HMI, maka sejatinya HMI saat ini secara perlahan menuju kedigdayaan level II secara Intelektual. Dan secara otomatis akan memunculkan “Lafran pane” dan Cak Nur baru yang siap melancarkan mata air itu. Pun melengserkan paradigma Politik-Sruktural, Pragmatisme yang berlebihan yang belakangan ini tumbuh subur dalam tubuh organisasi. Sebagaimana ungkapan kakanda”Amidhan” bahwa untuk kembali ke pangkalan jalan (Khittah) setiap kader HMI wajib mempelajari ide dan pemikiran kader besarnya.
TANTANGAN BARU
Sudah menjadi keniscayaan, bahwa dunia setiap detik mengalami perubahan secara terus-menerus. Abad ke 21 sekarang ini ditandai dengan lajunya teknologi informasi yang secara otomatis merubah cara hidup manusia. Beragam istilah disodorkan oleh berbagai Ilmuan/pakar untuk menerjemahkan kondisi manusia saat ini. Era digital atau dunia Artificial Intelegencia (AI) merupakan satuan kalimat yang menjadi istilah umum dikalangan publik. Bahwa dunia saat ini mengalami perubahan yang begitu cepat, yang itu ditandai dengan Kecanggihan Teknologi yang memaksa manusia untuk hidup didalamnya.
Ditengah percepatan teknologi itu, manusia sampai pada satu fase, dimana manusia beralih pada dunia virtual dan secara serentak meninggalkan dunia nyata. Smartphone merupakan instrumen berjamaah yang digunakan oleh manusia untuk beradaptasi dengan daulat zaman. Bahwa di era ini, segala aspek kehidupan secara total telah dialihkan secara otomatis dalam dunia jalan raya itu (Borrderlees).
Serbuan zaman ini tentu tidak bisa kita anggap sepeleh, kecanggihan teknologi hari ini selain mengarahkan manusia untuk hidup mudah dan instan, ia juga berpotensi menggantikan posisi dan fungsi sosial manusia di bumi. Bukan tanpa alasan, karena orientasi Ilmuan saat ini berusaha untuk mengconversi kecerdasan manusia pada Robot/Kecerdasan Buatan (AI).
Hiruk pikuk manusia ketika telah memberanikan diri berdamai dengan dunia baru ini, maka secara otomatis merubah aktivitas dan melahirkan karakter baru manusia, yang dalam kajian Post Truth (Dunia Pasca Kebenaran) manusia telah menjadi warga maya yang hidupnya serba dikendalikan. Karakteristik masyarakat Post Truth ini serba irasional, karena daya emosional dan keyakinan manusia lebih tinggi dibanding Rasionalitasnya. Hal ini berpotensi pada krisinya akal sehat dan maraknya berita bohong (Hoax) yang bertujuan untuk memprovokasi siapa saja di dunia tanpa batas ini.
Data membuktikan bahwa pengguna Internet di indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada januari 2020 lalu. Sementara total jumlah Penduduk Indonesia sendiri adalah 274,9 juta jiwa. (Kompas.Com. 23 februari 2021). Ini membuktikan bahwa begitu massifnya invasi teknologi digital di indonesia dan secara resmi tanpa ragu-ragu lagi Indonesia telah sampai pada Era yang disebut Era Digital. Kemasifan invasi teknologi digital ini tidak berjalan secara instan, tapi kecepatan itu karena didorong oleh suatu lembaga yang berperan penting dibelakangnya.
Tragedi covid-19 kemarin menjadi embrio dari meningkatnya pengguna Internet di indonesia. Dimana pemerintah Indonesia dengan dalil percepatan penanganan Covid-19 dan menjaga kerumunan warga, maka aktivitas Online baik Politik, pemerintahan, ekonomi dan bisnis, budaya dan pendidikan dibarlakukan secara total lewat kebijakan dalam bentuk regulasi. Barangkali ini adalah fakta situasional keindonesiaan kita hari ini yang banyak diantara kita belum secara penuh menyadari ini sebagai babak baru manusia.
BAGAIMANA PENGARUHNYA DENGAN HMI ?
Himpunan Mahasiswa Islam sebagai Organisasi yang tumbuh dalam teritorial Indonesia, tentu mengalami tantangan tersendiri. Bahwa lapangan baru ini meniscayakan HMI untuk melirik ulang pola main Organisasinya dan lapangan pengabdianya. Karena kondisi bangsa yang merupakan lapangan pengabdianya telah mengalami perubahan yang begitu pesat. Bang Agus Salim Sitompul mengatakan bahwa, “HMI tidak mesti melulu menggunakan jawaban lama untuk menjawab persoalan baru hari ini. Melainkan kemampuan baru untuk gaungi tantangan baru menghadapi perubahan dan pergantian zaman dalam menyongsong masa depan”.( 44 Indikator Kemunduran HMI). Barangkali para pemikir besar kita telah memberikan Alarm kepada kita sebagai kader HMI, yang kesemuanya itu telah terformalkan dalam bentuk Buku baku maupun Jurnal dan Artikel.
Efek dari pesatnya Revolusi Industri 4.0 ini memiliki pengaruh khusus pada kader HMI. Kader HMI aktif saat ini secara garis besar lahir sebelum lancarnya Teknologi Digital, yang dalam bahasa Ilmuan diistilahkan dengan Digital Imigrant. Bahwa benar, kader HMI secara mayoritas masuk dalam gerbong Digital imigran dan bukan Digital native yang lahir ditengah pesatnya Teknologi digital. Maka upaya untuk melakukan penyesuaian dengan arus zaman saat ini membutuhkan tenaga ekstra dan pola khusus sebagai upaya meningkatkan pemahaman kita terhadap cara main dan cara kerja teknologi digital.
Secara Organisatoris, HMI lewat Ketua Umum PB HMI (Raihan Ariatama) yang terpilih pada Kongres XXXI di surabaya periode 2021-2023 kemarin, telah mencanangkan program “Digitalisasi HMI” sebagai respon dari gelombang zaman saat ini. Hal ini disampaikanya pada Jumat, 02 April 2021 (TimesIndonesia, jakarta). “Menurutnya, tata kelola PB HMI harus ditingkatkan salah satunya dengan menerapkan digitalisasi Internal Organisasi. Supaya HMI punya Big Data yang bisa memuat satu pusat data untuk semua kader.”
Program Digitalisasi Organisasi yang dicanangkan oleh Ketua Umum PB HMI (Raihan Ariatama) ini adalah wujud nyata dari respon gelombang zaman saat ini. Bahwa HMI harus melakukan upaya-upaya cepat dan cerdas untuk turut mengendalikan zaman. Tapi satu hal yang terlupakan adalah, Program Digitalisasi Organisasi belum secara komprehensif mengatur tentang format apa yang digunakan untuk terjun dalam lapangan pengabdian HMI. Karena Program ini masih terfokus pada data kader, badko, cabang dan komisariat diseluruh Indonesia. Efek positif dari program ini adalah terintegrasinya seluruh kader HMI dan bisa terdeteksi berapa jumlah kader HMI dari sabang sampai Merauke. Juga secara spesifik memiliki efek segar bagi orientasi perkaderan karena lewat Big data organisasi, kita bisa tahu karakterisitik dan kondisi mental kader yang dengan itu pola perkaderan bisa disesuaikan secara mudah.
Walau begitu, HMI masih belum memvonis satu format khusus secara Organisatoris untuk menggariskan pola kerja perjuangan sosialnya. Karena Tujuan Ideal HMI adalah Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang di Ridhai Allah SWT, maka HMI selain melakukan digitalisasi Organisasi secara Internal, HMI sekarang juga dengan segera harus menggagas Format Digitalisasi Organisasi secara Sosial untuk memasifkan Program Perjuangan pada lapangan pengabdian yang sudah berubah ini.